|
ALBUM_FOTO Traveling Album_Keluarga SunLife_Indonesia Rekan_&_Sahabat FOTOGRAFI Review_Peralatan Digital_Fotografi Review_Buku Tips_Lainnya |
Mengapa memilih Canon EOS? Di tahun 1995 sewaktu saya memilih peralatan fotografi (untuk menggantikan kamera yang dicuri tahun 1992), mungkin hal yang paling berperan dalam proses pemilihan tersebut adalah rasa 'nostalgia' terhadap kamera Canon T-70 yang telah dicuri. Karena itu, sewaktu seorang teman menawarkan untuk menjual Canon EOS 650 berikut lensa 50mm dan flash 160E miliknya, dengan antusias saya menyambut tawaran tersebut. Apalagi ternyata harga yang ditawarkan sangatlah kompetitif (sekitar setengah dari harga yang ditawarkan di toko kamera bekas untuk tipe yang sama). Menggunakan kamera EOS 650 untuk pertama kalinya, saya cukup terkejut dengan kemampuan, keakuratan, dan kecepatan auto fokusnya. Setelah cukup terbiasa, saya akhirnya hampir selalu menggunakan fungsi auto fokus dibandingkan manual. Dari hasil membaca beberapa referensi mengenai kamera (khususnya Canon EOS) saya jadi lebih memahami bahwa untuk Canon EOS kecepatan auto fokus lebih ditentukan oleh lensa yang digunakan, dibandingkan body kamera yang dipakai. Setiap lensa mempunyai motor auto fokus didalamnya yang dirancang untuk bekerja optimal sesuai dengan lensa tersebut. Segera setelah itu saya merasa membutuhkan lensa zoom, dan setelah 'hunting' beberapa lama akhirnya mendapatkan lensa EF 35-135 USM. Saya cukup puas (sesuai dengan harapan) bahwa kecepatan auto fokusnya jauh lebih cepat dibandingkan lensa 50mm, karena lensa ini sudah menggunakan Internal/Rear Focus desain pada Ultrasonic Motor (USM) yang membuat proses auto fokus sangat cepat dan tenang.
EOS, diambil dari singkatan Electronic Optical System karena kamera ini menggunakan full electronic data transfer antara body dan lensa. EOS juga merupakan nama dewi matahari terbit dalam mitologi Yunani, yang (menurut Canon) melambangkan terbitnya era baru dalam sistem/peralatan fotografi. Canon EOS menggunakan lensa mount baru EF mount dengan diameter lebih besar dari mount FD sebelumnya. Keuntungan yang didapat dengan mount baru diantaranya:
Berikut ini beberapa ulasan singkat mengenai beberapa kamera yang pernah saya gunakan:
Awal 1987, ayah saya membeli kamera ini berikut lensa FD 50mm dan FD 35-70 f/3.5-4.5. Beberapa saat kemudian ditambahkan flash Vivitar auto untuk pemotretan malam atau dalam ruangan. Kamera ini adalah generasi ke-2 dari seri Canon T setelah T-50, mempunyai fungsi dan motor autowind sekitar 1 fps dan autorewind, yang cukup memudahkan untuk tidak men-cock shutter dan film setiap kali pemotretan (dibandingkan kamera manual tanpa asesori motor/winder). Menggunakan tombol dan LCD panel untuk fungsi kontrol, kamera ini terkesan sangat
modern pada waktu itu. Walaupun mempunyai mode eksposure speed priority dan manual, saya
hampir selalu menggunakan mode Program/auto eksposure dalam setiap pemotretan dan hasilnya
cukup memuaskan. Selama bertahun-tahun saya menggunakan kamera ini (1987-1992) tanpa
masalah, dan telah menumbuhkan rasa percaya terhadap kamera Canon sehingga saya memilih
Canon EOS sebagai sistem kamera berikutnya.
Kamera pertama yang mengawali seri auto fokus - EOS di tahun 1987. Pada saat kamera ini dikeluarkan, telah menimbulkan berbagai macam komentar dan tanggapan dari para fotografer profesional. Sebagian merasa bahwa fungsi auto fokus tidak diperlukan dan hanya untuk para amatir, dan yang lainnya beranggapan fungsi auto fokus adalah suatu hal yang luar biasa. Sebagian lagi merasa marah dan terkhianati oleh Canon karena mengganti lensa mount yang digunakan dari FD menjadi EF mount. Bagaimanapun, EOS 650 (dan 620 yang keluar 2 bulan berikutnya) telah membuktikan bahwa fungsi auto fokus pada kamera dapat menjadi akurat, cepat, dan dapat diandalkan. Yang membuat kamera ini tampak berbeda dari kamera lainnya adalah desain yang ergonomis dan halus dengan kombinasi rangka plastik (high-pressed polycarbonate) dan metal, tidak mengikuti bentuk baku kamera waktu itu (bentuk kotak dari metal). Seluruh fungsi (shutter, bukaan, auto fokus, metering) dikontrol melalui kombinasi tombol dengan LCD panel yang besar. Penggunaan 6 zona evaluatif atau parsial/spot metering membuat semua mode eksposure menjadi handal dan mudah digunakan. Kecepatan shutter dari 30s hingga 1/2000s dan maksimum film advance hingga 3 fps membuat kamera ini dipakai oleh banyak pemotret advance amateur hingga profesional pada masanya. Perbedaan utama EOS 620 dengan EOS 650 adalah pada tipe shutter modul yang digunakan. EOS 620 mempunyai kecepatan shutter maksimum 1/4000s, dengan speed sinkron hingga 1/250s - suatu fitur yang hanya dipunyai oleh seri EOS 1, 1n, dan 1v nantinya. Selain itu EOS 620 juga sudah mensupport fitur Multiple Exposure, dan adanya tambahan lampu penerang LCD panel. Akhir tahun 2001 saya mendapatkan body EOS 620 secondhand, karena itu EOS 650 saya yang bertanggal pembuatan 04/87
dan juga dibeli secondhand awal tahun 1995 saya wariskan ke adik. Kedua kamera tersebut masih terus digunakan secara teratur
hingga saat ini.
Pada dasarnya, EOS 630 adalah versi update dari EOS 650. Keluar tahun 1989, seri ini mempunyai sensor auto fokus dan prosesor auto fokus yang lebih cepat dari pendahulunya. Selain itu, kelebihan EOS 630 dibandingkan 650 diantaranya:
Keluar di tahun 1991, beberapa inovasi pada kamera ini menunjukkan arah pengembangan Canon EOS berikutnya. Kamera ini adalah SLR pertama yang menggunakan sabuk karet/rubber belt dan sensor infra merah pada proses film advancenya, dengan kecepatan maksimum 3 fps. Pemasangan karet dan busa khusus pada kaca/mirror untuk meredam suara dan 2 buah built-in motor di dalam body (untuk shutter dan advance/rewind film), membuat kamera ini adalah SLR kamera dengan built-in motor paling tenang untuk dioperasikan hingga saat ini. EOS 100 juga merupakan kamera pertama yang mempunyai built-in zoom flash di kepalanya, yang secara otomatis akan mengatur built-in flash agar mempunyai cakupan optimum untuk rentang lensa yang digunakan. Kamera ini sudah menggunakan Command Dial (selain LCD) untuk kontrol fungsi kamera, dan pemasangan Quick Control Dial/QCD di belakang kamera membuat pengoperasian mode eksposure dan kompensasi eksposure menjadi sangat mudah. Bersama dengan seri EOS 10 dan 50, kamera ini dapat menggunakan remote control RC-1 untuk pemotretan karena mempunyai IR built-in receiver di dalam body kamera. Dalam tes yang saya lakukan, mode Servo/focus tracking untuk obyek yang bergerak
sedikit lebih cepat dibandingkan EOS 630 menandakan prosesor AF yang dipakai lebih baru
dari seri 630/650. Untuk obyek yang tidak bergerak, kecepatan fokus lebih ditentukan oleh
tipe motor dalam lensa, dan tipe kamera yang digunakan tidak terlalu banyak pengaruhnya.
Kemunculan EOS 50/50E tahun 1995 mengawali tren yang disebut 'retrostyle', dimana body dibuat seolah-olah mengikuti gaya SLR lama. Body kamera ini dibuat dari kombinasi plastik dan aluminum dalam warna metal aslinya, untuk menonjolkan faktor estetika kamera. Gaya ini kemudian diikuti oleh beberapa kamera lain seperti Canon EOS 500n, EOS 300, Nikon N-60, Pentax seri ZX, dan Minolta 505. Penggunaan 2 Command dial membuat kamera ini bahkan lebih mudah dioperasikan dan digunakan dari versi sebelumnya. Seluruh setting utama kamera dapat dilihat dengan mudah dari bagian atas body. Sewaktu saya berniat membeli kamera baru sebagai backup di awal 1997, saya sempat membandingkan beberapa tipe EOS, tetapi akhirnya memilih EOS 50E ini dengan beberapa pertimbangan:
Kecepatan Servo/Focus tracking EOS 50/50E ini sebanding dengan EOS 5, dan hanya dikalahkan oleh EOS 1n atau EOS 3 yang termasuk kamera kategori profesional. Fasilitas Eye Control dengan multi fokus poin membuat proses focusing dan metering untuk obyek yang tidak terletak di tengah/off-center frame menjadi sangat mudah dan cepat. Pertama kali menggunakan Eye Control Focus, saya merasa fasilitas ini bagaikan sulap saja karena kamera akan memfokus ke arah mana mata memandang. Untuk fotografer amatir, antusias, atau bahkan profesional yang menggunakan Canon EOS,
pendapat pribadi saya EOS 50E ini adalah kamera terbaik dengan harga ekonomis (bila
dibandingkan dengan EOS 1n misalnya).
Canon EOS 3 Kadang-kadang, terdapat situasi dimana kita ingin membawa kamera tetapi SLR sistem tidak mungkin dibawa (mungkin karena terlalu besar, terlalu berat, atau tidak cocok dengan suasananya). Istri saya sering lebih memilih untuk tidak membawa kamera (walaupun perlu) karena tidak mau membawa SLR yang menurutnya besar dan berat. Karena itu, saya mulai mensurvei beberapa kamera kompak Point&Shot/P&S untuk istri saya. Waktu saya dapatkan sedemikian banyaknya merk dan tipe P&S yang beredar di pasaran, membuat saya cukup bingung untuk memilih. Dari segi kualitas, menurut pendapat saya pribadi tidak terlalu banyak perbedaan untuk kamera P&S dari manufaktur terkenal seperti Canon, Nikon, Olympus, Pentax, dan Minolta. Berdasarkan kriteria yang istri saya tentukan, maka kamera tersebut harus:
Pilihan akhirnya jatuh pada Pentax Espio 90mc, yang merupakan kamera kompak 35mm terkecil dan teringan untuk zoom hingga rentang 90mm. Selain itu, desain clamshell-nya membuat pengoperasian kamera sangat mudah, selain berfungsi ganda sebagai pelindung lensa. Fasilitas remote control sebagai standar (bukan tambahan) menambah faktor kemudahan pengoperasian. Kualitas foto yang dihasilkan cukup bagus (tentu saja, anda tidak bisa membandingkan
hasilnya dengan SLR untuk efek-efek yang sifatnya khusus). Cukup tajam terutama bila
pencahayaan alami cukup terang, dan rentang 38-90mm dari kamera ini cukup melingkupi
rentang yang dibutuhkan untuk general fotografi. Karena bukaan kecil f/4.5-f/9.0 dari
lensa, maka saya selalu menggunakan film dengan ASA 400 sebagai standar. Sayangnya,
penggunaan baterai termasuk boros apabila menggunakan flash (1 baterai CR2 untuk sekitar
2-4 rol film) dan motor zoomnya cukup berisik untuk dioperasikan. Istri saya sangat
menyukai kamera ini dan kini hampir selalu membawanya apabila diperlukan. Review di atas berdasarkan pengalaman sebagai seorang pemotret amatir, dan sangat bersifat subyektif. Kritik, saran, dan tambahan informasi untuk tulisan ini ditujukan ke Bambang Suroyo. Terimakasih. |